KATA PENGANTAR
Dengan
memanjat puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberi Rahmat
dan ridha-Nya, sehingga penyusun makalah ini dapat diselesaikan dengan baik dan
tanpa hambatan apa apun.
Dalam
penyusun makalah ini, penyusun telah mendapatkan bimbingan dan bantuan dari
beberapa pihak. Oleh karena itu melalui kesempatan ini penyusun menyampaikan
terimaksih dan penghargaan kepada segenap pihak yang telah membantu dalam
proses peyusunan makalah ini sampai selesai seperti sekarang ini.
Makalah
ini disusun dengan maksud untuk memenuhi tugas semester ganjil pada mata kuliah
“EKONOMI PUBLIK” dan demi tercapainya standar kelulusan bagi mata kuliah ini
hingga harus terselsaikan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Akhirnya
dengan segala kerendahan hati, penyusun mengharapkan adanya keritk dan saran
dari pembaca dan dosen pembimbing guna kedepannya makalah yang kami buat
mencapai kesempurnaan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pengembangan
pelajaran dan pendidikan, khususnya bagi penyusun dan juga pembaca.
Sumbawa
Besar, April 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
Hal
KATA PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR ISI................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
A.
LATAR BELAKANG.................................................................... 1
B.
RUMUSAN MASALAH................................................................ 3
C.
TUJUAN.......................................................................................... 3
BAB
II PEMBAHASAN............................................................................. 4
A. PENGERTIAN
PAJAK........................................................... 4
B. ASAS PAJAK.......................................................................... 8
C. JENIS-JENIS
PAJAK.............................................................. 10
D. SISTEM
PERPAJAKAN DAN POLITIK PAJAK................ 16
E. DAMPAK-DAPAK
PERPAJAKAN...................................... 21
BAB III PENUTUP..................................................................................... 26
A. KESIMPULAN.............................................................................. 26
B. SARAN.......................................................................................... 27
DAFTAR
PUSTAKA.................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Indonesia
merupakan suatu Negara yang merdeka pada tahun 1945. Suatu Negara sudah pasti
melakukan pembangunan di berbagai bidang guna mencapai cita-cita nasional.
Sebagai penunjang dalam pembangunanya, Indonesia mempunyai sistem
keuangan yang digunakan untuk pengalokasian dana pembangunan. Dana pembangunan
dapat diperoleh dari berbagai sumber dan salah satu sumber dana terbesar adalah
pajak. Pajak merupakan komponen pentiing bagi kebelangsungan Negara Indonesia.
Sistem yang merupakan salah satu warisan dari bangsa Belanda ini mempunyai
peranan vital dalam mensuplai pendapatan Negara.
Pembayaran
pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib
Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan
untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Sesuai falsafah undang-undang
perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan
hak dari setiap warga Negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta
terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional.
Tanggung
jawab atas kewajiban pembayaran pajak, sebagai pencerminan kewajiban kenegaraan
di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat sendiri untuk memenuhi
kewajiban tersebut. Hal tersebut sesuai dengan sistem self assessment yang
dianut dalam Sistem Perpajakan Indonesia.
Eksistensi
pajak merupakan sumber pendapatan utama sebuah negara, karena itu merupakan isu
strategis yang selalu menjadi pantauan masyarakat. Apalagi sekarang telah
dilakukan pembahasan RUU Pajak yang baru yang akan menggantikan UU No. 16/2000
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Penduduk Indonesia sebesar 215
juta jiwa merupakan potensi pajak yang berlimpah.
Ironisnya,
hingga 2004 jumlah wajib pajak/ pembayar pajak hanya mencapai 3.670.060 jiwa
dengan perincian 2.622.184 pembayar pajak orang pribadi dan 1.047.876 lainnya
pembayar pajak badan. Hal ini menandakan bahwa kebijakan perpajakan tidak cukup
kuat untuk melakukan ekstensifikasi pajak di samping proses pendataan wajib
pajak yang kurang gencar dilakukan.
Urgensi
pajak bagi kelangsungan pembangunan tak lagi disangsikan. Karena itu wajar jika
pemerintah terus berupaya menggali berbagai potensi tax coverage
(lingkup/cakupan pajak) sekaligus menekankan tax compliance (kepatuhan pajak)
dari masyarakat. Namun demikian, kepatuhan pajak yang bersumber dari kesadaran
masyarakat terhadap penunaian kewajiban membayar pajak itu tentu bukan sesuatu
yang berdiri sendiri.
Berbagai
persoalan perpajakan yang kerap muncul, baik yang bersumber dari wajib pajak
(masyarakat), aparatur pajak (fiscus), maupun yang bersumber dari sistem
perpajakan itu sendiri menunjukkan bahwa persoalan pajak merupakan hal yang
kompleks. Oleh karena itu, penanganannya perlu diupayakan secara sinergis dan
komprehensif.
Dengan
sendirinya, berbagai upaya untuk menciptakan masyarakat agar memiliki apresiasi
yang baik terhadap kewajiban membayar pajak tidak terpaku pada wajib pajak
belaka, tapi perlu mempertimbangkan aspek-aspek lainnya secara korelatif.
Dengan pertimbangan yang simultan, solusi alternatif yang signifikan akan lebih
memungkinkan.
Dari begitu
banyak dan keanekaragaman hak dan kewajiban wajib pajak, salah satunya adalah
wajib pajak orang pribadi yaitu orang yang memperoleh penghasilan baik sebagai
seorang direktur dari satu, beberapa, atau bahkan ratusan perusahaan atau seorang
pemegang saham atau komisaris atau pegawai menengah atau pegawai rendah atau
pekerja mandiri seperti dokter, notaris , pengacara.
Sebelum
sampai pada pembahasan tentang Wajib Pajak Pribadi, sebagai cakrawala
pengetahuan perpajakan perlu diketahui terlebih dahulu tentang pengertian,
jenis dan macam pajak serta manfaat pajak yang berlaku di Indonesia.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa
yang dimaksud dengan pajak ?
2.
Bagaimana
asas pajak tersebut ?
3.
Apa
saja jenis pajak tersebut ?
4.
Bagaimana
system perpajakan dan politik perpajakan ?
5.
Apa
saja yang menjadi dampak dari perpajakan ?
C.
TUJUAN
Yang menjadi tujuan dalam makalah ini yaitu antara lain :
1.
untuk
mengetahui defenisi dari pajak tersebut,serta asas-asas dalam
perpajakan,
- untuk mengetahui politik
yang berlaku didalam proses perpajakan serta dampak dari adanya
perpajakan,
- untuk menambah wawasan mengenai perpajakan
yang berlangsung disuatu Negara khususnya dinegara indonesia.
- untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah ekonomi Publik.
- dijadikan bahan referensi para mahasiswa
serta masyarakat dalam melihat perkembangan perpajakan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
PAJAK
Berikut ini beberapa definisi pajak dari berbagai ahli
di antaranya :
1.
“ Pajak
adalah iuran Negara (yang dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya
menurut peraturan peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali yang
langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran
pengeluaran umum berhubungan dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.” Prof. Dr. PJA
Adriani (Guru Besar Hukum Pajak Universitas Amsterdam)
2.
“ Iuran wajib, berupa
uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum,
guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif dalam mencapai
kesejahteraan umum”. Dr.Soeparman Soemahamidjaja.
3.
“ Pajak sebagai suatu
kewajiban menyerahkan sebagian daripada kekayaan kepada Negara disebabkan suatu
keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi
bukan sebagai hukuman menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan pemerintah
serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa balik dari negara secara
langsung, untuk memelihara kesejahteraan umum”. Prof. S.I.
Djajadiningrat.
4.
“ Pajak
adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan
akibat pelanggaran hukum namun wajib dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang
telah ditetapkan lebih dahulu tanpa mendapat imbalan yang langsung dan
proporsional agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk
menjalankan pemerintahan.” Sommerfeld Ray M., Anderson Herscel M.,
& Brock Horace R,
5.
” Pajak adalah peralihan
kekayaan dari sector swasta ke sector public berdasarkan undang undang yang
dapat dipakasakan dengan tidak mendapat imbalan yang secara langsung dapat
ditunjukan, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan yang digunakan
sebagai alat pendorong dengapenghambat atau nutuk mencapai tujuan yang
ada diluar bidang keuangan negara.” Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro,
Ada juga beberapa ahli memberikan pengertian pajak
antara yang satu dengan yang lainnya. Diantara beberapa pengertian yang
diberikan oleh para ahli adalah sebagai berikut
1.
Menurut Sommerfeld: pajak adalah suatu pengalihan
sumber-sumber yang wajib dilakukan dari sektor swasta kepada sektor pemerintah
berdasarkan peraturan tanpa mendapat suatu imabalan kemabali yang langsung dan
seimbang, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas tugasnya dalam pemerintahan
2.
Menurut Prof. DR. Rochmat Soemitro: pajak adalah
pengalihan kekayaan dari pihak rakyat kepad negara untuk membiayai pengeluaran
rutin dan ‘surplus’nya digunakan untuk ‘public saving’ yang merupakan sumber
utama untuk membiayai ‘public investment’. Dari pengertian itu dapat
disimpulkan unsur-unsur yang terdapat dalam pajak ialah:
a.
Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan
pelaksananya;
b.
Sifatnya dapat dipaksakan, hal ini berarti bahwa
pelanggaran atas iuran perpajkan dapat dikenakan sanksi;
c.
Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya
kontra[restai secara langsung oleh pemerintah;
d.
Pajak dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat
maupun daerah;
e.
Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran
pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih surplus, dipergunakan untuk
membiayai public investment.
3.
Menurut Prof.
DR. M.J.H. Smeets: pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang
melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan tanpa ada kontra prestasi
yang dapat ditunjukkan dalam hal individual; maksudnya adalah untuk membiayai
pengeluaran pemerintah’
Jadi
berdasarkan pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa Pajak adalah
iuran yang bersifat memaksa yang harus dibayarkan oleh seseorang atau suatu
badan (wajib pajak) kepada Negara tanpa mendapat imbalan secara langsung dan
digunakan untuk menjalankan pemerintahan guna mencapai kesejahteraan umum serta
tata cara pelaksanaannya diatur dalam undang-undang.
Secara umum
dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pajak merupakan sarana untuk menciptakan
kestabilan suatu Negara khususnya di bidang ekonomi sehingga dapat mewujudkan
kehidupan masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur.
Namun, Pemerintah sendiri telah
memberikan definisi pajak dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 28 Tahun
2007. Ya, baru pada Undang-undang inilah definisi pajak dicantumkan. Adapun
definisi pajak menurut Undang-undang ini adalah sebagai berikut :
Pajak
adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dengan
adanya pengertian pajak dalam UU KUP 28 tahun 2007, maka penegertian pajak
menurut para ahli tidak berlaku dan hanya sebagai pengetahuan saja.
Dalam
realitanya, sifat pajak yang memaksa bukan berarti tanpa dasar teori yang
jelas. Negara mempunyai dasar yang mensahkan setiap warga Negara untuk membayar
pajak, teori-teori tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Teori Asuransi, maksudnya bahwa dalam teori ini Negara
dapat didibaratkan sebagai sebuah perusahaan asuransi dan rakyat adalah
kliennya. Negara memberikan jaminan keselamatan jiwa, perlindungan harta benda
,dan hak-hak rakyat. Sebagai timbale balik, rakyat harus membayar premi atas
jasa tersebut, dan premi yang harus dibayar tidak lain merupakan pajak.
2.
Teori kepentingan, maksudnya bahwa teori ini sangat
mendukung asas keadilan dalam pemungutan pajak. Yang dimaksud dengan teori
kepentingan adalah pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan
masing-masing orang. Semakin besar kepentingan seseorang terhadap Negara,
semaikin besar kepentingan yang harus dibayar.
3.
Teori Daya Pikul, maksud dalam teori daya pikul ini
adalah beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, yang berarti pajak harus
dibayar sesuai dengan daya pikul masing-masing orang. Untuk mengukur daya pikul
dapat digunakan 2 pendekatan, yaitu :
a.
Unsur objektif, yaitu dengan melihat penghasilan atau
kekayaan yang dimiliki oleh seseorang.
b.
Unsur subjektif, yaitu dengan memperhatikan besarnya
kebutuhan materil yang harus dipenuhi.
Teori ini juga sangat relevan untuk menciptakan asas keadilan dalam
perpajakan.
4.
Teori Bakti, maksudnya bahwa sebagai warga Negara
sudah sepantasnya mengabdi kepada Negara. Salah satu bentuk dari pengabdian
tersebut adalah pelaksanaan kewajiban yang diberikan Negara kepada rakyatnya.
Mengacu pada definisi pajak yang bersifat wajib, maka sudah sepantasnya sebagai
warga Negara untuk mematuhi sebagai wujud dari pengabdian.
5.
Teori Asas Daya Beli, bahwa memungut pajak berarti
menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga Negara.
Selanjutnya Negara akan menyalurkan kembali ke masyarakat dalm bentuk
pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian kepentingan masyarakat
lebih diutamakan.
B.
ASAS PAJAK
Agar proses pemungutan pajak dapat
berjalan dengan baik, maka diperlukan asas-asas yang dijadikan landasan dalam
pemungutan pajak. Asas-Asas tersebut antara lain adalah sebagai berikut
- Asas Keadilan
Didalam Asas keadilan terdapat beberapa teori
yang dikemukakan oleh Adam Smith yaitu :
a.
Asas equality,
maksudnya asas ini menekankan bahwa pemungutan pajak harus sesuai dengan
kemampuan pribadi membayar pajak (ability to pay) dan sesuai dengan manfaat
yang diterima.
b.
Asas certainty, bahwa pemungutan pajak harus ada
kepastian hukum sehingga dapat dihindari tindakan sewenang-wenang dan tindakan
kompromis antara wajib pajak dan petugas pajak.
c.
Asas Convenience of Payment, maksudnya waktu
pembayaran pajak harus dilaksanakan sedekat mungkin dengan timbulnya objek
pajak.
d.
Asas economy or
efficiency, maksudnya bahwa biaya pemungutan pajak dibuat sehemat mungkin dan
pemenuhan kewajiban pajak bagi wajib pajak diharapkan seminimum mungkin.
Pada intinya asas-asas ini menyesuaikan dengan tujuan hukum, yakni
mencapaikeadilan. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak
secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Adil
dalam dalampelaksanaanya yaitu dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk
mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada
Majelis Pertimbangan Pajak.
2. Asas Manfaat
Negara dapat memanfaatkan
perolehan pajak sesuai dengan kebutuhannya tanpa ada penyelewengan. Sehingga
para wajib pajak akan terdorong untuk melaksanakan kewajiban pajak. Oleh karena
itu diharapkan pemerintah dapat menjaga kepercayaan masyarakat dengan
transparansi dan dapat menggunakannya dengan sebaik-baiknya sehingga masyarakat
tidak merasa membayar pajak sia-sia. Misalnya, dengan memperbaiki dan menambah
fasilitas umum
3.
Asas Pemunggutan Pajak
Pajak merupakan suatu iuran yang
tata cara pemungutannya diatur dalam undang-undang. Agar tata cara pemungutan
pajak dapat menjalankan fungsinya maka harus dipenuhi syarat-syarat sebagai
berikut
a.
Yuridiksi Domisili (tempat tinggal), maksudnya negara
berhak menggenakan pajak atas seluruh penghasilan wajib pajak yang dalam maupun
luar negeri.
b.
Sumber, maksudnya
negara berhak menggenakan pajak atas penghasilan yang bersumber diwilayahnya
tanpa memperhatikan tempat tinggal wajib pajak.
c.
Kebangsaan,
maksudnya pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan wajib pajak Asas ini
dierlakukan kepada seriap orang asing yang tinggal di Indonesia untuk membayar
pajak.
d.
Yuridis, artinya dalam pemungutan pajak harus
berdasarkan hukum yang menjamin keadilan yang tegas. Pemunggutan pajak di
Indonesia diatur dalam pasal 23A perubahan ke-3 UUD45 yang menyatakan “ Pajak dan pungutan lain bersifat memaksa
untuk keperluan Negara diatur dengan undang-undang.
e.
Ekonomis, maksudnya asas ekonomi ini lebih menekanan
pada pemikiran bahwa Negara menghendaki agar kehidupan masyarakat terus
meningkat. Untuk itu, pemunggutan pajak harus diupayakan tidak menghambat
kelancaran ekonomi sehingga kehidupan ekonomi tidak terganggu.
f.
Finansial, maksudnya bahwa biaya dalam pemunggutan
pajak harus dibuat seminimal mungkin untuk dapat memasukan uang
sebesar-besarnya ke kas negara.
g.
Sederhana, artinya sistem pemunggutan pajak harus
diciptakan sesederhana mungkin agar memudahkan wajib pajak dalam melaksanakan
pembayaran pajak.
C.
JENIS
- JENIS PAJAK
1.
Menurut golongannya pajak dapat dibagi ke dalam pajak
langsung dan pajak tidak langsung. Pembagian pajak ke dalam pajak langsung dan
pajak tidak langsung dapat ditinjau dari segi ekonomis dan dari segi
administrative.
a.
Pajak Langsung
Dari segi
ekonomis, pajak langsung adalah pajak yang dimaksudkan untuk dipikul sendiri
oleh wajib pajak, dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada pihak
lain. Misalnya : Pajak Penghasilan.
Dari segi
administrative, pajak langsung adalah pajak yang dikenakan atas surat ketetapan
pajak (kohir) dan pengenaannya dilakukan secara berkala (periodik). Misalnya :
tiap-tiap bulan.
b.
Pajak tidak langsung
Dari segi
ekonomis, pajak tidak langsung adalah pajak yang dimaksudkan untuk dilimpahkan
oleh yang membayar kepada pemikul (konsumen). Jadi pajak tidak langsung ini
dapat dilimpahkan atau dibebankan kepada pihak lain. Misalnya : Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Dari segi
administrative, pajak langsung adalah pajak yang tidak dikenakan berdasarkan
atas surat ketetapan pajak dan pemungutannya tidak dilakukan secara berkala.
Pengenaan pajak tidak langsung biasanya dikaitkan dengan tindakan perbuatan
atau kejadian. Misalnya : jual beli barang.
Dalam
kaitanya dengan pajak tidak langsung terdapat adanya dua macam pergeseran beban
pajak, yaitu :
2.
Pergeseran ke muka (Forward Shifting) adalah
pergeseran beban pajak searah dengan arus barang, yaitu dari produsen kepada konsumen.
Pergeseran ini sifatnya menaikkan harga barangkarena pembeli harus membayar
harga barang ditambah dengan pajak. Misalnya : Penjualan Barang Kena Pajak dari
pabrikan kepada pembeli, maka pembeli harus membayar harga barang ditambah
dengan Pajak Pertambahan NIlai (PPN)
3.
Pergeseran ke
belakang (Backward Shifting) adalah pergeseran beban pajak yang bertentangan
dengan arus barang, yaitu pembeli menggeser beban pajak kepada penjual.
Pergeseran beban pajak jenis inisifatnya menurunkan harga atau menurunkan
jumlah penerimaan uang yang dibayarkan kepada penjual (produsen). Jadi jumlah
uang yang akan diterimakan atau akan diterima penjual (produsen) dikurangi
dengan Pajak Pertambahan Nilai. Misalnya : Penjualan tembakau dari petani
kepada pabrik rokok.
Secara
ekonomis, untuk membedakan pajak langsung dan pajak tidak langsung, dapat
dilihat adanya tiga unsur, yaitu :
1.
Penanggung jawab pajak, adalah orang yang secara
formil yuridis diharuskan melunasi pajak, bila padanya terdapat faktor atau
kejadian yang menimbulkan sebab untuk dikenakan pajak.
2.
Penanggung pajak adalah orang yang dalam faktanya
dalam arti ekonomis memikul beban pajak.
3.
Pemikul beban pajak adalah orang yang menurut maksud
pembuat undang – undang harus memikul beban pajak (destinataris)
Jika ketiga
unsur tersebut terdapat pada seseorang atau satu badan, maka pajak tersebut
adalah pajak langsung. Dan jika terpisah, artinya unsur-unsur tersebut terdapat
lebih dari satu orang, maka pajak tersebut adalah pajak tidak langsung. Sebagai
contoh dapat dikemukakan mengenai pemungutan cukai tembakau dimana ketiga unsur
tadi tidak berada pada satu orang atau badan (tetapi terpisah), yaitu :
a)
Pabrikan : Ditunjuk sebagai
penanggung jawab pajak, ia harus membeli pita cukai.
b)
Agen rokok : Merupakan penanggung pajak, ia
setiap kali mengambil rokok dari pabrik harus sekaligus membayar cukai rokok.
c)
Konsumen : Adalah destinataris pajak, karena
dialah yang sesungguhnya dituju oleh undang-undang untuk memikul beban cukai
tersebut.
Dengan demikian yang dimaksud dengan
pajak langsung menurut pengertian ilmu ekonomi adalah pajak yang beban pajaknya
tidak bisa dialihkan kepada pihak lain dan pajak tidak langsung adalah pajak
yang beban pajaknya bisa dialihkan kepada pihak lain.
2. Berdasarkan
kewenangan pemungutannya pajak dibagi ke dalam pajak-pajak pusat (pajak Negara)
dan pajak-pajak daerah.
a)
Pajak-pajak pusat (pajak negara) adalah pajak-pajak
yang kewenangan pemungutannya ada pada Pemerintah Pusat. Pajak-pajak pusat yang
berlaku di Indonesia sampai saat ini adalah :
1)
Pajak Penghasilan (PPh), PPh diatur dalam
Undang-Undang No. 7 Tahun 1983. Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1
Januari 1984, menggantikan Undang-Undang Pajak Perseroan 1925, UU Pajak
Pendapatan 1944, dan UU Pajak atas Bunga Deviden dan Royalty (PBDR) 1970.
2)
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn-BM), Diatur dalam
Undang-Undang No. 8 Tahun 1983. Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal1
April 1985, yang menggantikan UU Pajak Penjualan 1951.
3)
Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB), Diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1985. Undang-Undang ini
mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986 dan telah diubah dengan
undang-undang Nomor 12 tahun 1994.
4)
Bea materai diatur dalam undang-undangnomor 13 tahun
1985. Undang –undang ini mulai berlaku tanggal 1 Januari menggantikan Peraturan
dan Undang-Undang bea materai lama (ABM 1921).
5)
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan diatur dalam
Undang-Undang Nomor 20 tahun 1997.
b)
Pajak-Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang kewenangan
pemungutannya ada pada Pemerintah Daerah, untuk kepentingan pembiayaan
rumah tangga Pemerintah Daerah tersebut. Adapun yang dimaksud dengan
daerah disini adalah daerah otonom, yaitu daerah yang berhak dan berwenang
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Daerah ini terdiri atas Daerah
Tingkat I dan Daerah tingkat II, sekarang diganti dengan sebutan Daerah
Propinsi dan daerah Kabupaten/Kota. Berkaitan dengan perubahan tersebut
maka Pajak Daerah dapat digolongkan menjadi :
1)
Pajak daerah Tingkat I (Pajak propinsi)
a.
Pajak Kendaraan Bermotor
b.
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
c.
Pajak Bahan
Bakar Kendaraa Bermotor
d.
Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan air bawah Tanah dan
air permukaan
2)
Pajak daerah tingkat II (Kabupaten/Kota)
a.
Pajak Hotel
b.
Pajak Restoran
c.
Pajak Hiburan
d.
Pajak Reklame
e.
Pajak penerangan jalan
f.
Pajak Pegambilan dan pengolahan bahan galian golongan
C
g.
Pajak Parkir
Ditinjau dari segi fungsi,obyek dan penggunaanya maka terdapat perbedaan
antara pajak-pajak pusat dengan pajak-pajak daerah :
1. Perbedaan
dari segi fungsinya
Pajak pusat : sebagai alat untuk melaksanakan
Kebijaksanaan. Misalnya berfugsi sebagai sarana untuk menahan atau mengurangi
keluar msuknya orang atau barang dari atau ke dalam Negara, seperti PBA dan
Pajak Barang, sedangkan
Pajak daerah : mempunyai fungsi yang bertolak dengan
pajak pusat, karena berdasarkan pasal 4 ayat 2 peraturan Pajak daerah
merintangi keluar masuknya pengangkutan barang atau orang dari atau kedalam
suatu daerah.
3. Perbedan dari segi objeknya
Pajak Pusat : Objek pemungutannya relative tidak terbatas.
Pajak Daerah : Objek pemungutannya terbatas jumlahnya, Dalam arti pajak
yang telah dipungut pemerintah pusat tidak boleh dipungut pemerintah daerah.
Hal ini diatur dalam Pasal 12 Peraturan pajak daerah yang mengatakan bahwa
lapangan pajak daerah adalah lapangan yang belum dipergunakan oleh pusat.
4. Perbedan dari segi penggunaannya
Pajak
Pusat : Dipergunakan untuk pembiayaan
Negara
Pajak Daerah : Dipergunakan untuk pembiayaan daerah
3.
Pembagian Pajak Berdasarkan sifatnya
Prof.
Adriani membedakan pajak menjadi dua yaitu :
a.
Pajak Subjektif
Pajak
subjektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya yang
selanjutnya dicari syarat objektifnya , dalam arti memperhatikan keadaan diri
wajib pajak. Dalam pemungutan pajak subjektif ini harus ada hubungan antara
Negara pemungut dengan subjek pajaknya, yang dulu dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu :
1)
Pajak Subjektif yang dipungut dari perorangan,
misalnya Pajak Pendapatan
2)
Pajak subjektif yang dipungut dari badan – badan
usaha, misalnya Pajak Perseroan
b.
Pajak Objektif
Pajak
objektif adalah pajak yang
berpangkal pada objeknya yang dikenai pajak, dan untuk mengenakan pajaknya
harus dicari subjeknya. Dalam pemungutan pajak objektif harus ada hubungan
antara negara pemungut pajak dengan objek pajaknya. Pajak objektif selalu
dipungut berdasarkan asas sumber, sedangkan pada pajak subjektif dipungut
berdasarkan asas domisili dan asas nasionalitas.
Karena objek
pajak dapat berupa keadaan, peristiwa, dan perbuatan maka ada tiga macam pajak
objektif, yaitu :
a.
Pajak objektif
yang dipungut karena keadaan, Misalnya pajak penghasilan yang dikenakan kepada
wajib pajak luar negeri, adanya kekayaan yang terletak di negara pemungut
pajak, adanya penghasilan di wilayah Negara pemungut pajak, adanya benda –
benda yang dinyatakan sebagai benda – benda yang kena pajak di negara yang
memungut pajak.
b.
Pajak objektif yang dipungut karena perbuatan,
Misalnya adanya peralihan barang, rumah, kapal, dan kendaraan bermotor, di situ
dikenai bea balik nama. Adanya penyerahan barang dari pabrikan ke pedagan
besar, di situ dikenai pajak karena adanya pertambahan nilai (UU no 8 tahun
1983)
c.
Pajak objektif yang dipungut karena peristiwa, Misalnya
bea warisan yaitu bea yang dipungut atas harta peninggalan yang diwarisi atau
diperoleh seseorang.
D.
SISTEM
PERPAJAKAN DAN POLITIK PAJAK
Di
Indonesia politik perpajakan dituangkan dalam sepuluh undang-undang, tujuh
diantaranya merupakan undang-undang material perpajakan, yaitu undang-undang
yang mengatur Subjek, Objek, dan tarif pajak atau Siapa atas Apa dikenakan
pajak Berapa yaitu:
1.
Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh):
UU Nomor 7 Tahun 1983 stdd UU Nomor 17 Tahun 2000.
2.
Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM): UU Nomor 8 Tahun 1983
stdd UU Nomor 18 Tahun 2000.
3.
Undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB): UU Nomor 12 Tahun 1985 stdd UU Nomor 12 Tahun 1994.
4.
Undang-undang Pajak Bea Meterai (BM): UU
Nomor 13 Tahun 1985.
5.
Undang-undang Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan (BPHTB): UU Nomor 21 Tahun 1997 stdd UU Nomor 20 Tahun 2000.
6.
Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah (PDRD): UU Nomor 18 Tahun 1997 stdd UU Nomor 34 Tahun 2000.
7.
Undang-undang Penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP): UU Nomor 20 Tahun 1997.
Dan
terdapat tiga undang-undang yang mengatur hukum yang lebih bersifat formal
(prosedur), yakni
1.
Undang-undang KUP (Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan): UU Nomor 6 Tahun 1983 stdd UU Nomor 28 Tahun 2007 yang
dari namanya saja dapat diketahui bahwa undang-undang ini mengatur bagaimana
wajib pajak dan pemerintah melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya
2.
Undang-undang PPSP (Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa): UU Nomor 19 Tahun 1997 stdd UU Nomor 19 Tahun 2000 yang
mengatur tata cara penagihan dan penerbitan surat paksa
3.
Undang-undang PP (Pengadilan Pajak): UU
Nomor 14 Tahun 2002 yang mengatur tentang bagaimana wajib pajak menggunakan
haknya untuk mengajukan banding atas nilai pajak yang ditetapkan oleh
pemerintah dan bagaimana wajib pajak menggunakan haknya untuk mengajukan
gugatan atas pelanggaran prosedur yang dilakukan pemerintah sebagai fiskus.
Yang
menjadi isu pajak pada saat kampanye dari seorang calon presiden di suatu
negara adalah mengenai Siapa atas Apa dikenakan pajak Berapa atau mengenai
subjek pajak, objek pajak, dan tarif pajak.
Salah
satu contoh politik perpajakan yang baru saja di buat di Negara ini adalah
politik pajak penghasilan dalam UU Pajak Penghasilan (PPh) yang perubahan
undang-undangnya baru disahkan oleh DPR, di gedung DPR, Senayan, Jakarta,
Selasa (2/9/2008) yang diantara adalah menyangkut penurunan tarif Pajak
Penghasilan (PPh),
Penurunan
tarif PPh dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan tarif PPh yang berlaku di
negara-negara tetangga yang relatif lebih rendah, meningkatkan daya saing di
dalam negeri, mengurangi beban pajak dan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak
(WP).
Dengan
demikian terdapat beberapa pergeseran tarif wajib pajak (WP):
a. Bagi
WP orang pribadi, tarif PPh tertinggi diturunkan dari 35% menjadi 30% dan
menyederhanakan lapisan tarif dari 5 lapisan menjadi 4 lapisan, namun
memperluas masing-masing lapisan penghasilan kena pajak (income bracket), yaitu
lapisan tertinggi dari sebesar Rp 200 juta menjadi Rp 500 juta
b. Bagi
WP badan, tarif PPh yang semula terdiri dari 3 lapisan, yaitu 10%, 15% dan 30%
menjadi tarif tunggal 28% di tahun 2009 dan 25% tahun 2010. Penerapan tarif
tunggal dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan prinsip kesederhanaan dan
international best practice. Selain itu, bagi WP badan yang telah go public
diberikan pengurangan tarif 5% dari tarif normal dengan criteria paling sedikit
40% saham dimiliki oleh rakyat. Insentif tersebut diharapkan dapat mendorong
lebih banyak perusahaan yang masuk bursa sehingga akan meningkatkan good
corporate governance dan mendorong pasar modal sebagai alternatif sumber
pembiayaan bagi perusahaan.
c. Bagi
WP UMKM yang berbentuk badan diberikan insentif pengurangan tariff sebesar 50%
dari tarif normal yang berlaku terhadap bagian peredaran bruto sampai dengan Rp
4,8 miliar. Pemberian insentif tersebut dimaksudkan untuk mendorong
berkembangnya UMKM yang pada kenyataannya memberikan kontribusi yang signifikan
bagi perekonomian di Indonesia. Pemberian insentif juga diharapkan dapat mendorong
kepatuhan WP yang bergerak di UMKM
d. Bagi
WP orang pribadi Pengusaha Tertentu, besarnya angsuran PPh Pasal 25 diturunkan
dari 2% menjadi 0,75% dari peredaran bruto. Penurunan tarif tersebut
dimaksudkan untuk membantu likuiditas WP dengan pembayaran angsuran pajak yang
lebih rendah serta memberikan kepastian dan kesederhanaan penghitungan PPh.
e. Bagi
WP pemberi jasa yang semula dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% dari perkiraan
penghasilan neto menjadi 2% dari peredaran bruto. Perubahan tarif tersebut
dimaksudkan untuk memberikan keseragaman pemotongan pajak yang sebelumnya ada
yang didasarkan pada penghasilan bruto dan sebagian didasarkan pada penghasilan
neto. Dengan metode ini, penerapan perpajakan diharapkan dapat lebih sederhana
dan tarif relatif lebih rendah sehingga dapat meningkatkan kepatuhan WP.
Di
luar masalah tariff tersebut kebijakan atau politik pajak penghasilan pada
perubahan undang-undangan pajak penghasilan yang baru disahkan tersebut
meliputi:
1.
Bagi WP yang telah mempunyai NPWP
dibebaskan dari kewajiban pembayaran fiskal luar negeri sejak 2009, dan
pemungutan fiskal luar negeri dihapus pada 2011. Pembayaran fiskal luar negeri
adalah pembayaran pajak di muka bagi orang pribadi yang akan bepergian ke luar
negeri. Kebijakan penghapusan dan kewajiban pembayaran fiskal luar negeri bagi
WP yang memiliki NPWP dimaksudkan untuk mendorong WP memiliki NPWP sehingga
memperluas basis pajak. Diharapkan pada 2011 semua rakyat yang wajib memiliki
NPWP telah memiliki NPWP sehingga kewajiban pembayaran fiskal luar negeri layak
dihapuskan.
2.
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
untuk diri WP orang pribadi ditingkatkan sebesar 20% dari Rp 13,2 juta menjadi
Rp 15,84 juta, sedangkan untuk tanggungan istri dan keluarga ditingkatkan
sebesar 10% dari Rp 1,2 juta menjadi Rp 1,32 juta dengan paling banyak 3 tanggungan
setiap keluarga. Hal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan PTKP dengan
perkembangan ekonomi dan moneter serta mengangkat pengaturannya dari peraturan
Menteri Keuangan menjadi undang-undang.
3.
Penerapan tarif pemotongan/pemungutan
PPh yang lebih tinggi bagi WP yang tidak memiliki NPWP.
4.
Bagi WP penerima penghasilan yang
dikenai pemotongan PPh Pasal 21 yang tidak mempunyai NPWP dikenai pemotongan
20% lebih tinggi dari tarif normal.
5.
.Bagi WP menerima penghasilan yang
dikenai pemotongan PPh Pasal 23 yang tidak mempunyai NPWP, dikenai pemotongan
100% lebih tinggi dari tarif normal.
6.
Bagi WP yang dikenai pemungutan PPh
Pasal 22 yang tidak mempunyai NPWP dikenakan pemungutan 100% lebih tinggi dari
tarif normal.
Perluasan
biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Dimaksudkan bahwa
pemerintah memberikan fasilitas kepada rakyat yang secara nyata ikut
berpartisipasi dalam kepentingan sosial, dengan diperkenankannya biaya tersebut
sebagai pengurang penghasilan bruto.
Adapun
bentuk realisasi dari hasil pajak yang di lakukan oleh wajib pajak (WP) sebagai
berikut :
a. Sumbangan
dalam rangka penanggulangan bencana nasional dan infrastruktur sosial.
b. Sumbangan
dalam rangka fasilitas pendidikan, penelitian dan pengembangan yang dilakukan
di Indonesia.
c. Sumbangan
dalam rangka pembinaan olahraga dan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk
agama yang diakui di Indonesia
Pengecualian
dari objek PPh:
a.
Sisa lebih yang diterima atau diperoleh
lembaga atau badan nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan atau
bidang penelitian dan pengembangan yang ditanamkan kembali paling lama dalam
jangka waktu 4 tahun tidak dikenai pajak.
b.
Beasiswa yang diterima atau diperoleh
oleh penerima beasiswa tidak dikenai pajak.
c.
Bantuan atau santunan yang diterima dari
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial tidak dikenai pajak.
Surplus Bank Indonesia ditegaskan
sebagai objek pajak. Aturan ini dimaksudkan untuk memberikan penegasan terhadap
penafsiran yang berbeda tentang surplus BI. Menurut UU No.7 Tahun 1983 tentang
PPh, pengertian penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh WP dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian
surplus BI adalah tambahan kemampuan ekonomis yang termasuk objek PPh yang
diatur dalam UU PPh.
Peraturan perpajakan untuk industri
pertambangan minyak dan gas bumi, bidang usaha panas bumi, bidang usaha
pertambangan umum termasuk batubara dan bidang usaha berbasis syariah, diatur
tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.
Tepat tidaknya pengaturan struktur tarif
Pajak Penghasilan sesungguhnya tergantung dari tingkat kesenjangan
kesejahteraan rakyat di suatu Negara. Jika kesenjangan sosial rakyat di suatu
negara, yang biasanya dilihat dari gini ratio, tinggi maka suatu negara untuk
mempercepat proses redistribusi asset menaikan tarif pajak penghasilan untuk
lapisan rakyat yang kaya. Penurun tarif PPh pada lapisan yang teratas seharus
dilakukan pada saat tingkat kesenjangannya tidak tinggi Indonesia.
E. DAMPAK-DAMPAK
PERPAJAKAN
1. Dampak Pajak terhadap Kesejahteraan
Apabila suatu barang dikenakan pajak maka harga yang dibayar
konsumen lebih tinggi daripada harga yang diterima oleh produsen atau penjual,
karena sebagian harga dibayarkan kepada pemerintah. Dalam beberapa hal
kadang-kadang suatu pajak akan menimbulkan beban yang lebih berat dibandingkan
nilai yang dipungut. Kelebihan beban yang ditimbulkan oleh pajak itulah yang
disebut kesejahteraan yang hilang karena pajak (welfare cost of taxation).
Penting sekali membedakan secara jelas antara biaya tak langsung (the
welfare cost taxation) dan biaya langsung (direct cost of taxation)
dalam hubungannya dengan penarikan sumber-sumber produktif dari sektor swasta.
Perbedaan ini dapat diilustrasikan secara jelas dengan contoh
sebagai berikut: misalnya suatu pajak penjualan dikenakan pada produk tertentu,
tetapi pajak tersebut dikenakan sedemikian tinggi sehingga produk tersebut
menurun sampai nol. Dalam hal demikian berarti tidak ada biaya langsung dari
suatu pajak sebab tidak ada penerimaan pajak yang dapat dikumpulkan oleh
pemerintah. Tetapi jelas ada beban bagi masyarakat karena pajak yaitu produk
tersebut tidak diproduksi padahal sangat dibutuhkan masyarakat.
Dengan demikian ada mis-alokasi sumber-sumber produksi sehingga
konsumen menjadi kurang senang dan kehilangan kesejahteraan, yang berarti mereka memikul beban pajak.
2. Dampak Pajak Terhadap Produksi
Dampak pajak
terhadap produksi dapat dibagi dalam pengaruh pajak terhadap produksi
keseluruhan dan komposisi produksi. Pengaruhnya terhadap produksi secara
keseluruhan berlangsung melalui pengaruhnya terhadap kerja, tabungan dan
investasi. Lebih jauh dampak pajak ini terlihat dari kemampuan dan keinginan
untuk bekerja, menabung dan mengadakan investasi.
Menurut
Suparmoko (1997) kemampuan seseorang untuk bekerja akan berkurang apabila
dikenai pajak yang dapat mengurangi efisiensi kerjanya. Oleh karena itu suatu
pajak yang dikenakan kepada golongan yang mempunyai tingkat penghasilan yang
rendah dalam suatu masyarakat hanya akan menurunkan tingkat efisiensi kerjanya.
Kemampuan
menabung juga akan berkurang akibat dikenakannya pajak. Orang yang dikenakan
pajak penghasilan, kemampuannya untuk menabung akan berkurang sebesar marginal
propensity to save (mps) dikalikan dengan jumlah pajak yang dikenakan. Bagi
orang-orang yang tergolong mempunyai pengahasilan rendah, pengenaan pajak tidak
akan mengurangi kemampuannya untuk menabung karena memang biasanya mereka itu
sudah tidak mempunyai tabungan walaupun belum dikenakan pajak. Sehingga kalau
dikenakan pajak tidak akan mengurangi tabungannya melainkan akan mengurangi
konsumsinya. Dengan alasan yang demikian ini maka masuk akal jika kemudian
pajak yang dikenakan terhadap petani yang sebagian besar berpenghasilan rendah
tidak dilakukan.
Kemampuan
untuk mengadakan investasi tergantung pada sumber-sumber dana yang akan
digunakan untuk mengadakan investasi itu. Jelaslah kiranya bahwa kemampuan
untuk mengadakan investasi ini akan berkurang dengan adanya pajak yang mengurangi
kemampuan untuk mengadakan tabungan. Karena tabungan adalah sumber dana untuk
investasi maka dengan sendirinya kemampuan untuk mengadakan investasi juga akan
berkurang bila kemampuan untuk menabung berkurang dengan adanya pajak.
Pengaruh
pajak juga dapat mengakibatkan adanya penyimpangan dalam penggunaan faktor
produksi yaitu penggunaan faktor produksi yang seharusnya dapat menghasilkan
produksi maksimum menuju ke arah penggunaan yang menghasilkan produksi yang
lebih sedikit. Oleh karenanya pajak yang dikenakan jangan sampai mengakibatkan
adanya penyimpangan penggunaan faktor-faktor produksi atau kalau memang tidak
dapat dihindarkan, pajak yang dikenakan jangan sampai menimbulkan banyak
penyimpangan-penyimpangan.
3.
Dampak Pajak terhadap Distribusi Pendapatan
Baik
atau tidaknya suatu kebijakan haruslah dipertimbangkan dari beberapa segi.
Hendaknya diketahui pula bahwa tujuan pembangunan suatu negara pada umumnya
adalah berupa peningkatan pendapatan nasional per kapita, penciptaan lapangan
kerja, distribusi pendapatan yang merata dan keseimbangan dalam neraca
pembayaran internasional. Keempat tujuan umum pembangunan ini tidak sejalan dan
selaras dalam pencapaiannya, melainkan seringkali untuk mencapai tujuan yang
satu terpaksa harus mengurangi keberhasilan dari tujuan yang lain. Sebagai
misal untuk mencapai laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi seringkali terjadi
ketidakmerataan pendapatan.
Tingkat
pajak yang regresif cenderung untuk memperbesar ketidakmerataan penghasilan
dalam masyarakat. Sebaliknya semakin progresif sistem pajak yang dianut oleh
suatu perekonomian akan semakin berkuranglah perbedaan penghasilan yang
terdapat dalam perekonomian, sehingga sistem pajak yang digunakan hendaklah
bersifat progresif tajam. Suatu pajak dikatakan mempunyai struktur yang
progresif apabila persentase beban pajak terhadap pendapatan naik dengan
4.
Dampak Pajak terhadap Keinginan untuk Bekerja
Jika pajak progresif dikenakan pada
pendapatan tenaga kerja maka tenaga kerja tersebut akan berkurang keinginannya
untuk bekerja. Tenaga kerja yang bersangkutan akan kurang berkehendak untuk
bekerja giat, sebab apabila penghasilannya bertambah maka sebagian besar hanya
akan dipungut oleh pemerintah saja. Jadi pajak progresif akan mengurangi insentif
kerja. Sedangkan pajak regresif merupakan pajak dengan perkembangan yang kurang
dari sebanding dengan perkembangan taxable capacity, persentase pajak yang
harus dibayar menjadi semakin kecil atau average tax rate menurun pada setiap
peningkatan tax base. Pajak regresif ini akan menambah insentif kerja, karena
dengan semakin tingginya penghasilan yang diperoleh, maka pajak yang harus
dibayarnya semakin rendah persentasenya. Para pekerja akan bekerja lebih giat
agar memperoleh penghasilan yang lebih besar dan dengan demikian pajak yang
harus dibayarnya akan menjadi semakin kecil persenatasenya.
5.
Pajak Pertambahan Nilai (Ppn) Pada Produk Pertanian Dan Dampaknya
a.
Pengertian Pajak Pertambahan Nilai (Ppn)
Pajak
pertambahan nilai dapat dikenakan dalam bentuk satu tahap atau beberapa tahap.
Jika beberapa tahap pemungutan pajak dikenakan terhadap nilai tambah, maka ini
sama artinya dengan satu tahap pemungutan pajak penjualan. Sistem pengenaan
pajak pertambahan nilai adalah berkali-kali, tetapi pada setiap tingkat yang
dikenakan pajak pertambahan nilai hanya atas pertambahan nilainya saja. Artinya
jumlah pajak yang harus dibayar oleh pengusaha atau produsen adalah selisih
antara jumlah pajak yang harus dipungut oleh pengusaha kena pajak pada waktu
menjual hasil produksinya dengan jumlah pajak yang telah dibayarnya waktu
membeli bahan-bahan input.
Adanya
pertambahan nilai ini akan juga mempengaruhi harga penawaran sehingga pajak
pertambahan nilai akan mempengaruhi harga penawaran. Dengan adanya pajak
pertambahan nilai maka harga penawaran akan naik.
b.
Dampak PPN Pertanian Jika Dikenakan pada Produsen
Pengenaan
PPN pertanian pada produsen akan mengakibatkan harga di tingkat produsen
menjadi tertekan. Daya beli komoditas pertanian memiliki nilai yang rendah.
Ketika petani menjual harga produknya pada kondisi normal petani akan
kehilangan sedikit insentifnya akibat petani ikut menanggung PPN yang dikenakan
sehingga meskipun harga yang dilakukan tinggi, namun petani justru mengalami
kerugian akibat harus menyetor pajak kepada pemerintah. Pada kondisi ekstrim
bahwa konsumen tidak mau membeli komoditas pertanian dengan harga tinggi
tersebut dan memilih harga sebelum pajak, maka akibatnya petani juga mengalami
kerugian dan pada akhirnya akan menjual dengan harga rendah dan menanggung
sendiri PPN tersebut.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dalam makalah ini dapat disimpulkan bahwa adalah iuran yang bersifat memaksa
yang harus dibayarkan oleh seseorang atau suatu badan (wajib pajak) kepada
Negara tanpa mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk menjalankan
pemerintahan guna mencapai kesejahteraan umum serta tata cara pelaksanaannya
diatur dalam undang-undang.
Perlakuan
PPh atas keuntungan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan terhadap
wajib pajak orang pribadi menimbulkan ketidakadilan bagi wajib pajak orang
pribadi biasa. Yang dimaksud dengan wajib pajak orang pribadi biasa adalah
mereka yang tidak melakukan kegiatan usaha jual-beli hak atas tanah dan/atau
bangunan. Wajib pajak kelompok ini akan memikul beban pajak yang lebih besar
dari pada mereka yang mempunyai usaha pokok jual beli hak atas tanah dan/atau
bangunan.
Undang-undang
PPh hanya mengatur bahwa kerugian yang boleh dibebankan sebagai biaya adalah:
1. kerugian karena penjualan atau
pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang
dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (Pasal 6 ayat
(1) huruf d)
2. kerugian dari selisih kurs mata uang
asing (Pasal 6 ayat (1) huruf e)
3. piutang yang nyata-nyata tidak dapat
ditagih sepanjang memenuhi persyaratan tertentu Pasal 6 ayat (1) huruf h
Ketentuan
diatas belum mencakup hak wajib pajak untuk membebankan kerugian yang diderirta
karena bencana alam oleh karena itu perlu dipertimbangkan untuk memperluas
cakupan Pasal 6 sehingga mencakup kerugian yang diderita karena bencana
dimaksud.
Pengertian-pengertian
dan pemahaman mengenai pajak seperti diatas yang perlu terus disosialisasikan
kepada masyarakat lewat kampanye sadar pajak dalam berbagai bentuknya, seperti
seminar, diskusi, penataran, lokakarya, simulasi, dan bentuk aktifitas lainnya
Dengan upaya ini diharapkan tumbuhnya apresiasi positif masyarakat terhadap
pajak yang pada akhirnya sampai pada suatu keinsyafan bahwa sadar pajak
merupakan kunci pembangunan.
B. SARAN
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan sumber yang
cukup mendasar bagi judul makalah ini.
Selain itu, bentuk pemaparan dan penjelasannya menggunakan metode
pendeskripsian dan argumentasi untuk masalah yang dituangkan dalam makalah ini.
Penggunaan gaya bahasa yang mudah dipahami membuat sebuah kajian baru dalam
menyelesaikan suatu studi kasus.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menyadari bahwa masih banyak
kekurangan yang perlu ditambah dan diperbaiki. Untuk itu
penulis mengharapkan inspirasi dari para pembaca dalam hal membantu
menyempurkan makalah ini. Untuk terakhir kalinya penulis berharap agar dengan
hadirnya makalah ini akan memberikan sebuah perubahan khususnya dunia
pendidikan, dalam mengetahui tentang Sistem Perpajakan dan Politik Pajak.
DAFTAR PUSTAKA
Sadono Sukirno, Perpajakan-dampak-pajak, Jakarta Kencana, Maret 2010.
http// www.Arsyad,
Lincolin.com.pengantar-pengeluaran-pemerintah-Yogakarta: Sekolah Tinggi
Ekonomi YKPN
Wikipedia
bahasa Indonesia. Ensiklopedia bebas internet. http://id.wikipedia.org.diakses pada
tanggal 2 Mei 2010
Muhammad
Hambali,SHI.9 Agustus 2008. Menggugat system politik perpajakan bebas.http:// marx83.wordpress.com. diakses
pada tanggal 2 Mei 2010
0 comments:
Post a Comment